PENDAKIAN ARJUNO PART I

PENDAKIAN ARJUNO PART I

Perjalanan hidup dan mati.

Begitulah sepantasnya kami memberi judul dari sedikit cuplikan cerita menuju Arjuno. Mungkin juga sebagai wakil dari penyampaian kata dari beribu macam rasa putus asa dan rasa suka.

Bermula dari rencana untuk melakukan pendakian di akhir pekan. Kami merencanakan pendakian menuju puncak ogal-agil, Arjuna.

Peking, bekal, mental kami coba untuk kumpulkan dalam satu wadah yang telah kami persiapkan. Setelah persiapan peralatan dan perbekalan siap, tancap gas saja menuju kota Mbatu, pada hari Minggu. Alhamdulillah perjalanan tak terjadi kendala yang membingungkan, hanya sedikit pegal, dan nafas yang tersengal. Maka waktu yang masih senggang kami gunakan untuk menambah bekal, makan dan canda tawa yang berserakan.

Setelah istirahat cukup, canda tawa tertutup, dan semangat makin meletup, Minggu, ples mines 15.00 WIB, berangkatlah kami ke pos perinjinan pendakian yang letaknya bersebelahan dengan wisata air panas Cangar walau bersebelahan dengan jarak lebih dari satu jam.

Sesampainya di pos perijinan, ples mines 16.45 WIB, kami disarankan untuk menginap terlebih dahulu dan melanjutkan perjalanan esok pagi karena memang faktor alamiyah dan nonalamiyah berkumpul teraduk dalam satu kondisi. Selain faktor gerimis, cuaca yang begitu dinginnya. Ditambah lagi suasana mistis dan mencekam seperti mencekram tenggorokan menjadi sebuah pertanda kami untuk tak melanjutkan perjalanan.

Dan akhirnya kami bermalam di rumah tetangga pos perijinan tepatnya di sebelah kanan. Rumah itu terdapat 3 ruangan kosong. Ruang pertama berukuran ples mines delapan meter vs tiga meter. Satunya lagi berukuran ples mines empat vs tiga meter satunya lagi berukuran ples mines tiga vs lima meter. Ruangan paling luas kami tempati untuk melepas penat, bebaringan rehat agar besok benar-benar sehat. Ruangan kedua ada dipan tertata kasur empuk untuk mapan malam. Ruangan ke tiga juga berdipan tapi tak berkasur. Hanya beralas tikar kosongan. Ruangan berkasur memang terasa nyaman, sedang satunya terasa mencekam. Entah apa alasannya kami tak menemukan alas yang nyaman untuk mapan di ruang ke tiga. Bahkan mungkin sebuah kesengajaan pemilik yang merasa nyaman untuk menyalakan dupa dan menyan.

Malam berlalu. Sedikit tergores cerita yang dingin sedingin senyum sang senja yang layu di terpa gerimis dan angin yang berpadu. Setelah melakukan ritual mengisi bidang dan menyeruput kopi sachetan, kami bercengkerama. Malam berlalu, kami mulai rebah satu-persatu. Hingga tinggal tiga gelintir orang berpadu malam. Salah satunya aku. Dan seiring berlalunya waktu salah satu dari rekan kami bangun memintal biji tasbih yang terus melingkar. Ada pula yang melihat sekelebatan bayang hitam mengintip diluar jendela. Ada juga yang merekamnya di pojokan ruang dengan mata telanjang serta tersimpan dalam ingatan. Entah apa itu, hanya saja kami masih memiliki mental yang cukup untuk tak panik dan putus harapan. Hingga malam itu terasa begitu panjang dan lain dari malam yang lain. Dingin makin menusuk. Rekan kami mulai khusuk dalam buai impi. Dan akupun tidur meringkuk. Setelah berlalu sampai ples mines pukul tiga dini hari aku terbangun dan duduk lalu menikmati kopi yang tinggal hanya beberapa teguk, bahkan sampai aku tertidur dengan tertunduk.

Tak terasa ples mines enam puluh menit-an aku tidur. Akhirnya aku terbangun dari posisi duduk mendekur. Ternyata masih ada rekanku yang bercengkerama, walau lainnya bergelimpangan tak teratur. Lalu bersih diri dan menghadap 'kulon' bersedekap hingga salam yang kedua kali. Mulailah aku nyalakan api, merebus air hingga menjadi kopi. Menyeduh minuman bernutrisi(katanya) dan mengganjal perut dengan roti. Tentunya aku sudah membangunkan semuanya sebelum makanan itu tersaji. Setelah semua mencicipi dan semua perlengkapan terbungkus rapi. Ples mines 05.30 WIB kami keluar berpamitan untuk pergi mendaki.

Diawali dengan mujahadah keamanan singkat kami duduk melingkar dan bermunajat sambil bersuara gemetar. Setelah selesai, kami mulai melangkah tegap dengan nafas yang masih genap. Berjalan teratur dengan otot yang masih mengendur. Melangkahlah kami di jalanan Malang-Pasuruan. Sampai pada belokan terdapat pertigaan lalu belok kiri dan menemukan perkebunan yang membentang. Ples mines 1,5 jam kami masih melangkah di perkebunan sambil bercanda tawa yang berhamburan. Beristirahat dengan senyuman, serta leles wortel dan ketang sembari salah satu diantara kami menitipkan kartu nida sebagai kenang-kenangan.

Tak terasa kami sudah memasuki bibir hutan, Alas Lali Jiwo. Dan kami mulai masuk, mak JREEEEENG...suasananya mulai menusuk cekam, menebar seram. Dan sampai edisi depan.... teng teng bersambung.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kemunculan Admiral Ryokugu